Judul buku: Ats-Tsawabit Wal-Mutaghayyirat
Penulis: Jum`ah Amin Abdul Aziz
Penerbit: Al-I’tishom
Tebal buku: 246 halaman
Ukuran: 14 cm x 21 cm
dakwatuna.com – Ada
sebagian kaum muslimin yang menganggap bahwa segala yang telah ada
(baca: dilakukan) generasi awal Islam adalah sesuatu yang final dan
harus diikuti, hatta dalam model pakaian dan hal lain yang sebenarnya
masuk dalam domain “umuriddunya”. Sebagian yang lain, merupakan lawan
ekstrim dari golongan pertama, bahwa apapun yang ada dalam Islam bisa
diubah seiring dengan perkembangan zaman. Tidak peduli apakah ia masalah
muamalah maupun ibadah dan aqidah, semuanya bisa diubah mengikuti
“semangat zaman”.
Pandangan seperti di atas bisa saja terjadi
ketika seorang muslim tidak mengetahui tsawabit dan mutaghayyirat dalam
Islam. Mana hal-hal prinsip yang bersifat permanen, tidak boleh berubah.
Dan mana hal-hal yang bersifat fleksibel, yang perlu dikembangkan dan
dilakukan inovasi.
Dalam hal dakwah dan harakah juga demikian.
Termasuk ketika umat berbicara tentang gerakan dakwah Islam terbesar;
Ikhwanul Muslimun. Saat harakah ini di berbagai belahan dunia melakukan
transformasi dalam ‘bentuk lain’ yang ‘berbeda’ dari tampilannya pada
zaman Hasan Al-Banna, banyak komentar yang menganggap bahwa Ikhwan tidak
lagi berada dalam asholahnya. Terlebih ketika harakah ini di beberapa
negara sering kali melakukan ‘manuver dakwah’ maka suara-suara itu lebih
terdengar. Tidak hanya dari orang umum dan simpatisannya, bahkan
sebagian kadernya juga ikut terbawa dalam pandangan ini.
Sementara
itu, tantangan dan problematika yang dihadapi harakah Islam sekarang
berbeda dengan apa yang pernah dihadapinya dulu. Peluang yang terbuka
juga tidak sama persis dengan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Zaman
dan tipologi manusia yang ada sekarang juga berbeda. Dengan argumentasi
ini, ada juga kemudian yang mengusulkan bahwa ‘manuver dakwah’ harus
lebih kencang dan bahkan menyangkut hal-hal yang sebenarnya prinsip juga
menjadi berubah.
Maka, kehadiran buku Ats-Tsawabit
Wal-Mutaghayyirat karya Jum’ah Amin ini menjadi cahaya terang yang bisa
dijadikan referensi tentang Ikhwan, tidak hanya bagi kadernya tetapi
juga bagi simpatisan dan umat Islam secara umum.
Setelah
menjelaskan tentang definisi tsawabit dan mutaghayyirat, penulis
menjelaskan pula 10 tsawabit dalam dakwah Ikhwanul Muslimun, yaitu:
1. Nama Jamaah tidak boleh berubah sebab ia merupakan cerminan fikrah, aplikasi, sejarah dan loyalitas.
Artinya,
ketika disebutkan nama Ikhwanul Muslimun, maka akan segera tergambar
sebuah jamaah dakwah dengan berbagai karakternya yang khas. Namun,
ke-tsawabit-an nama ini hanya diperuntukkan bagi tanzhim alamy
(organisasi pusat). Adapun cabang-cabangnya di berbagai negara
diperbolehkan menggunakan nama yang berbeda sesuai dengan kondisi sosial
politik dan peluang serta kapasitas internal jamaah.
2. Beramal
jama’i adalah kewajiban yang harus selalu menyatu dengan aktivis
dakwahnya. Maka kader Ikhwan akan senantiasa bersama dengan jamaah baik
keputusan jamaah sesuai dengan pendapatnya atau berbeda. Dan tentu saja
karena jamaah ini adalah jamaah Islam maka segala keputusannya harus
sesuai dengan konsep Islam dan amal jama’inya pun dalam rangka penegakan
Islam.
3. Jalan yang dilalui dalam upaya meraih cita-cita dan
tujuannya adalah dengan tarbiyah. Meskipun pada saat yang sama juga ada
dakwah struktural, perubahan sosial melalui gerakan massa, dan
sebagainya, tarbiyah (pengkaderan) tetap menjadi langkah utama. Hal ini
membawa implikasi meskipun suatu saat jamaah ini sudah memasuki ranah
politik atau bahkan ranah negara, memiliki massa yang demikian banyak
jumlahnya, ia tetap harus melakukan proses tarbiyah. Dengan tarbiyah itu
ia menjaga dan mengembangkan kader yang sudah ada, dengan tarbiyah pula
ia menambah jumlah kader itu.
4. Usrah adalah tempat asuhan
tarbiyah. Meskipun wasailut tarbiyah (sarana-sarana tarbiyah) itu
banyak, tetapi usrah tetap menjadi jiwa dari semua sarana yang ada.
Meskipun sarana tarbiyah bisa berkembang seiring dengan perkembangan
zaman dan teknologi (misalnya dengan telekonferens dan taujih leave),
usrah tidak boleh ditinggalkan. Ia menjadi benteng terakhir bagi
tarbiyah, otak bagi amal jama’i, dan senjata utama dalam merealisasikan
cita-cita.
5. Prinsip-prinsip jamaah, baik mengenai pemahaman
aqidah, pemikiran, atau ideologinya bisa dirujuk dalam risalah ta’alim
(khususnya ushul isyrin) dan risalah aqaid. Maka, bagi kadernya sangat
diperlukan mempelajari risalah tersebut, sebab ia merupakan batasan dan
arahan dalam memahami Islam. Jika batasan atau kaidah dalam risalah ini
telah benar-benar dikuasai maka baru boleh baginya membaca referensi
apapun dan tidak dikhawatirkan akan terkena syubhat dan ghazwul fikr
dari pihak yang memusuhi Islam.
6. Bahwa Islam itu bersifat syumul
(komprehensif) dan karenanya jamaah dakwah Islam juga harus bersifat
komprehensif. Dari sini bisa diketahui kelemahan harakah Islam yang
hanya mengkonsentrasikan diri pada salah satu aspek dalam Islam; aqidah
saja atau politik saja, misalnya.
7. Syura adalah pengikat bagi setiap ikhwah dalam memecahkan permasalahan dan menyelesaikan perbedaan.
8. Menghormati sistem dan peraturan jamaah adalah moralitas yang selayaknya dijunjung tinggi setiap ikhwah
9. Pilihan fiqih yang telah ditetapkan oleh jamaah harus diikuti oleh anggota
10. Allah menjadi tujuan dalam setiap ucapan dan perbuatan.
(Muchlisin/BeDa)